BIOGRAFI ABDULLAH IBN ABBAS
Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Mekah tahun 619 M
atau 3 tahun sebelum hijrah.
Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti
Harits yang
dikenal dengan julukan Ummu Fadhl Lubabah
al Kubra binti Haris al Hilaliyah, yang merupakan wanita kedua yang masuk Islam dan teman dekatnya Khadijah binti Khuwailid, istri
Rasululah. Ummu Fadhl juga saudara kandung Maimunah binti Harits bin Hazn, istri Nabi..
Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan
panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti
`Abbasiyah.
Saudara Saudara
Ibnu Abbas
2.
Abdullah, lebih dikenal sebagai Ibnu Abbas.
Banyak Hadis Shahih yang diriwayatkan melalui dirinya. Ia seorang
ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia
pernah menjadi gubernur di Basrah pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dia meninggal dan dikuburkan di Thaif, Arab
Saudi.
3.
Qutsam bin Abbas, wajahnya mirip benar dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ia pergi
berjihad ke negeri Khurasan. Pernah menjadi gubernur di Bahrain pada
masa Ali bin Abi Thalib dan dikuburkan
di Samarkand
4.
Ma’bad bin Abbas pernah menjadi gubernur
di Mekkah pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan mati syahid di Afrika.
5.
Ummu Habibah, tidak banyak dibicarakan oleh
sejarah.
6.
Ubaidillah bin Abbas, pernah menjadi gubernur
di Yaman pada masa
kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan dikuburkan di Madinah.
Ibnu Abbas
mendapat beberapa julukan, yakni :
- Ibnu Abbas
- Al Bahr (samudera) karena keluasan ilmunya.
- Al Hibr (Tampan) karena ketampanannya.
- Tarjuman Al Quran (Juru Bicara Al Quran) karena penguasaan Al Quran yang luas
Pernah menjadi
gubernur di Basrah pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia
meriwayatkan banyak Hadis Shahih sesudah Aisyah r.a. Dari keturunan Ibnu Abbaslah
berdirinya Khalifah Bani Abbasiyah. Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama
`Abdullah yang mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain
ialah ‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan
`Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan
menguasai Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga
merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk
memberi fatwa pada waktu itu.
Dalam bidang
militer Ibnu Abbas pernah mengikuti ekspedisi militer ke Mesir tahun 18 -21 H,
ke Afrika Utara tahun 27 H, Jurjan dan Tabaristan (kini Iran Utara) tahun 30 H,
ke Constantinopel bersama Yazid bin Mu’awiyah dan Abdullah bin Umar pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab.
Dalam perang Jamal antara Aisyah – Thalhah – Zubair (disatu pihak)
dan Ali bin Abi Thalib dipihak lain,
Ibnu Abbas adalah salah satu komandan tentara Ali. Ia menjadi gubernur
Basra pada masa kekhalifan Ali. Ibnu Abbas juga ikut menanda tangani Perjanjian Siffin.
Pada masa
pemerintahan Mu’awiyah (661–680) Ibnu Abbas tinggal di Hedzjaz. Ketika Abdullah bin Zubair meminta
dukungannya untuk merebut jabatan khalifah, Ibnu Abbas (dan Ali al Hanafiyah,
anak Ali bin Abu Thalib) menolak sehingga diusir oleh Abdullah bin Zubair dari
Hedzjaz. Ketika gerakan Abdullah bin Zubair dapat dipatahkan oleh Al
Mukhtar (tentaranya Yazid bin Mu’awiyah) Ibnu Abbas kembali ke Hedzjaz dibawah
perlindungannya, kemudian ia tinggal di Thaif sampai akhir hayatnya.
Meski dipandang
sebagai Pelopor Ahli Tafsir, Ibnu Abbas tidak sempat menulis buku tafsir.
Tetapi terdapat banyak tafsir yang diriwayatkan darinya. Untuk melihat apa yang
disebut Tafsir Ibnu Abbas, menurut Manna al Qattan [ penulis buku Mabahis fi
Ulum Quran ] yang terbaik adalah tafsir yang diriwayatkan melalui perawi hadis Ali bin Abi Talhah al Hasyimi. Catatan :
Imam Bukhari juga mengambil riwayat dari jalan ini. Dan juga melalui
perawi hadis Qays bin Muslim al Kufi [ w. 120 H ]. Kitab Tafsir yang
mengumpulkan tafsir Ibnu Abbas antara lain ialah Tanwir al Miqbas min Tafsir
Ibn Abbas, yang ditulis oleh Abi Tahir Muhammad bin Ya’qub asy Syairazy asy
Syafi’i [ w. 817 H ]
Abdullah bin
Abbas diperkirakan telah meriwayatkan 1.660 hadits, peringkat keempat
setelah Abu Hurairah [ 5.374 Hadis ], Abdullah bin Umar bin Khattab [
2.630 Hadis ], Anas bin Malik [ 2.266 Hadis
]. Menurut An Nasa’i, sanad Hadis Ibnu Abbas paling Shahih adalah yang diriwayatkan oleh az Zuhri,
dari Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utba, dari Ibnu abbas. Sedangkan yang
paling dhaif adalah yang
diriwayatkan oleh Muhammad bin Marwan as-Suddi Ash-Shaghir dan Al-Kalabi,
dari Abi Shalih. Rangkaian ini disebut silsilah Al-Kadzib [ silsilah
bohong ].
Ibnu Abbas
banyak meriwayatkan hadis dari Al Fadhl [ paman ibunya ], Abu Bakar As Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdur Rahman bin Auf, Mu’az bin
Jabal, Abu Zar al Ghiffari, Uay bin Ka’b [ w 19 H ], Abu Huraira dll. Ia adalah
sahabat yang terpandang dan dijuluki Informan
Umat. Mengingat banyaknya jumlah Hadis yang diriwayatkan. Lahir di Mekah dan besar di saat munculnya Islam, dan beliau terus mendampingi Rasulullah sehingga membuat Ibnu Abbas mampu meriwayatkan
banyak Hadis.
Abdullah lahir
tiga tahun sebelum hijrah dan pernah
didekap Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW berdoa : Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah. (Yang dimaksud
hikmah adalah pemahaman terhadap Al Quran). Berilah ia pengertian dalam bidang
agama dan berilah ia pengetahuan takwil [ tafsir ]”. HR. Tirmidzi dalam Tuhfatul
Ahwadzi Juz X No. 40077. Allah mengabulkan doa Nabi-nya sehingga Ibnu Abbas belakangan
terkenal dengan penguasaan ilmunya yang luas dan pengetahuan fikihnya yang
mendalam. Ia adalah tempat untuk dimintai fatwa penting
sesudah Abdullah bin Mas’ud, selama kurang lebih tiga puluh tahun.
Tentang Ibnu
Abbas, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah berkata :”Tak pernah aku melihat
seseorang yang lebih mengerti dari pada Ibnu Abbas tentang ilmu Hadits Nabi Shallallahu alaihi Wassalam
serta keputusan-keputusan yang dibuat Abubakar, Umar, dan Utsman. Begitu
pula tentang ilmu fikih, tafsir, bahasa arab, sya’ir, ilmu hitung dan
fara’id. Orang suatu hari menyaksikan ia duduk membicarakan ilmu
fiqih, satu hari untuk tafsir, satu hari lain untuk masalah peperangan,
satu hariuntuk syair dan memperbincangkan bahasa Arab. Sama sekali aku tidak
pernah melihat ada orang alim duduk mendengarkan pembicaraan beliau begitu
khusu’nya kecuali kepada beliau. Dan setiap pertanyaan orang kepada beliau,
pasti ada jawabannya”.
Ketika usia Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16 tahun, Nabi
wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai. Beliau berusaha
menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi mempelajari apa-apa
yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang hal ini, Ibnu `Abbas
bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum diketahuinya kepada
seorang sahabat penghafal hadits:
“Aku pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan
membentangkan jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku
sewaktu aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku bisa saja
mendapatkan izinnya untuk masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku
lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah
ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu
Rasulullah! Ada apa dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang
kemari, tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku berkata, “Akulah yang
sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan datang
sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadits yang diketahuinya itu dan
mendapatkan riwayat darinya.”
Dengan kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi
maupun setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi
usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin Khaththab
menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’. Khalifah `Umar sering melibatkannya ke
dalam pemecahan permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap
mengedepankan pendapat Ibnu `Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat senior
lain. Argumennya yang cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah
pada perdamaian membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan
perdebatan. Beliau menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui
kebenaran, bukan untuk pamer kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya
bersih dan jiwanya suci, bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan
bagi setiap orang, baik yang dikenal maupun tidak.
`Umar juga pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an
ialah dari Ibnu `Abbas. Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul
dengan `Abdullah bin `Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak
pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih
berilmu dan lebih bijaksana daripada Ibnu `Abbas.” Ibnu `Abbas tidak hanya dikenal
karena pemikiran yang tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah
hati. Teman-temannya berujar, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh
dengan makanannya, minumannya, dan ilmunya yang melebihi rumah Ibnu `Abbas.”
`Ubaidullah bin `Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang
yang lebih mengerti tentang hadits Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat
Abu Bakar, `Umar, dan `Utsman, daripada Ibnu `Abbas.”
Perawakan Ibnu `Abbas tinggi tapi tidak kurus, sikapnya
tenang dan wajahnya berseri, kulitnya putih kekuningan dengan janggut diwarnai.
Sifatnya terpuji, memiliki budi pekerti yang mulia, rendah hati,
simpatik-empatik penuh kecintaan, ramah dan akrab, namun tegas dan tidak suka
melakukan perbuatan sia-sia. Masruq berkata mengenainya, “Apabila engkau
melihat `Abdullah bin `Abbas maka engkau akan mengatakan bahwa ia seorang
manusia yang tampan. Apabila engkau berkata dengannya, niscaya engkau akan
mengatakan bahwa ia adalah seorang yang paling fasih lidahnya. Jikalau engkau membicarakan
ilmu dengannya, maka engkau akan mengatakan bahwa ia adalah lautan ilmu.”
Saat ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu
`Abbas menjawab, “Dengan lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka
berpikir.” Terkenal sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya
sebagai majelis ilmu yang setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba
ilmu padanya. Hari-hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram,
hukum waris, ilmu bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu
`Abbas adalah orang yang istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering berpuasa
dan menghidupkan malam dengan ibadah, serta mudah menangis ketika menghayati
ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah
orang-orang `alim. Ibnu `Abbas pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah
pada masa kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau,
“Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara,
ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil
telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil
yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang
berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”
Pada akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan.
Beliau menetap di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun.
Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta
akhlaq `ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar